Liputan6.com, Yogyakarta - Borobudur merupakan
kuil atau candi Buddha terbesar di dunia. Peristiwa-peristiwa besar
dunia ditakdirkan hadir di sini. Seperti yang terjadi pada 11 Juni 1983,
matahari tertutup sempurna oleh bulan atau gerhana matahari total.
Suara kentongan menjadi tanda bahwa masyarakat harus masuk ke dalam
rumah. Sedang satu-satunya jalan mengetahui kejadian di luar rumah
hanyalah melalui televisi.
Di saat sebagian masyarakat dicekam rasa takut, beberapa orang
peneliti justru menemukan kegairahan. Mereka mencoba menjadi saksi
bertemunya matahari, bulan dan bumi dalam titik sejajar atau gerhana
matahari total.
Peristiwa itu hanya terjadi sekali dalam 350 tahun di lintasan yang
sama. Durasi gerhana matahari total kala itu menjadi salah satu yang
paling lama dalam sejarah, yaitu lebih dari 5 menit.
Pengetahuan mengenai gerhana matahari total sangat minim ketika itu.
Masyarakat pun tak boleh melihat langsung walau sedetik. Tak boleh
keluar rumah. Belum lagi, mitos yang melekat pada masyarakat.
Diceritakan dalam dunia pewayangan bahwa Dewa Matahari dan Dewi
Rembulan yang mengadukan keinginannya meminum air keabadian kepada sang
Dewa Wisnu, membuat Kolo Rau dendam kesumat.
Adalah lakon Kolo Rau, penggalan cerita Wayang Purwa, Samudramantana,
pencarian tirta amerta, air keabadian. Kisah yang merasuk ke dalam
masyarakat Jawa seputar gerhana matahari.
Sementara itu, Candi Borobudur tak sekadar bercerita tentang ajaran
Buddha. Monumen itu telah bercerita tentang antariksa 12 abad silam.
Tata letak diperhitungkan matang, simetris utara-selatan, timur dan
barat.
Berdasarkan penelitian tim astronom ITB, stupa di Borobudur berjumlah
empat kali 365 plus 1. Perlambang jumlah hari dalam setahun ditambah
satu hari di tahun kabisat.
Hubungan Borobudur dengan Pawon dan Mendut, 2 candi pengiring di
sekitarnya pun menghadirkan informasi mengagumkan. Ketiganya berjajar
dalam satu garis lurus yang melambangkan rasi bintang orion atau waluku.
Ini bukti masyarakat Nusantara abad 9 sudah mengenal ilmu perbintangan
dan tata surya.
Kini, tahun yang dinanti tiba. Rindu tanda-tanda kebesaran alam
melecut semangat peneliti-peneliti muda. Mata-mata raksasa dipersiapkan
para ahli. Semuanya menyambut datangnya gerhana matahari total, 9 Maret 2016.
Lintasan totalitas saat posisi bulan terletak sejajar di antara bumi
dan matahari itu lebih panjang dibanding gerhana matahari total yang
terjadi pada tahun 1983 dan 1988.
Keindahan korona atau sinar yang mengelilingi matahari menjadi target
utama para pemburu gerhana. Berbagai hipotesis pun muncul menjadi
bibit-bibit teori baru.
Matahari sebagai pusat tata surya dan sumber energi sesungguhnya
masih menyimpan beribu teka-teki. Ketika seluruh bidang matahari
terhalang bulan itulah terdapat anomali pada gravitasi bumi.
Teka-teki lebih dari 50 tahun belum terjawab, yakni gerhana matahari
total membuat gerak dan orientasi pendulum tak lagi konstan, 1 derajat
per jam searah perputaran jarum jam.
Sementara memantau gerhana matahari tak sembarangan. Ketika 1 persen
saja matahari tak tertutup bulan, maka akan membahayakan bagian retina
mata.
Hal ini memerlukan kacamata khusus atau
filter tersendiri bagi pengguna kamera. Namun, saat mengalami
totalitas, matahari tertutup penuh oleh bulan, mata telanjang justru
aman manatap langsung.
Kini akses informasi mengenai gerhana matahari total terbuka lebar.
Informasi dan edukasi diberikan melalui media dan bahkan secara
langsung.
Bagi para pemburu gerhana kesempatan langka itu tak mungkin disia-siakan. Keuntungan finansial dan hobi diraih berbarengan.
sumber ; liputan 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar