Profil

Minggu, 06 Maret 2016

Potret Menembus Batas: Menjemput Gerhana

Liputan6.com, Yogyakarta - Borobudur merupakan kuil atau candi Buddha terbesar di dunia. Peristiwa-peristiwa besar dunia ditakdirkan hadir di sini. Seperti yang terjadi pada 11 Juni 1983, matahari tertutup sempurna oleh bulan atau gerhana matahari total.
Suara kentongan menjadi tanda bahwa masyarakat harus masuk ke dalam rumah. Sedang satu-satunya jalan mengetahui kejadian di luar rumah hanyalah melalui televisi.
Di saat sebagian masyarakat dicekam rasa takut, beberapa orang peneliti justru menemukan kegairahan. Mereka mencoba menjadi saksi bertemunya matahari, bulan dan bumi dalam titik sejajar atau gerhana matahari total.
Peristiwa itu hanya terjadi sekali dalam 350 tahun di lintasan yang sama. Durasi gerhana matahari total kala itu menjadi salah satu yang paling lama dalam sejarah, yaitu lebih dari 5 menit.


Pengetahuan mengenai gerhana matahari total sangat minim ketika itu. Masyarakat pun tak boleh melihat langsung walau sedetik. Tak boleh keluar rumah. Belum lagi, mitos yang melekat pada masyarakat.
Diceritakan dalam dunia pewayangan bahwa Dewa Matahari dan Dewi Rembulan yang mengadukan keinginannya meminum air keabadian kepada sang Dewa Wisnu, membuat Kolo Rau dendam kesumat.
Adalah lakon Kolo Rau, penggalan cerita Wayang Purwa, Samudramantana, pencarian tirta amerta, air keabadian. Kisah yang merasuk ke dalam masyarakat Jawa seputar gerhana matahari.
Sementara itu, Candi Borobudur tak sekadar bercerita tentang ajaran Buddha. Monumen itu telah bercerita tentang antariksa 12 abad silam. Tata letak diperhitungkan matang, simetris utara-selatan, timur dan barat.
Berdasarkan penelitian tim astronom ITB, stupa di Borobudur berjumlah empat kali 365 plus 1. Perlambang jumlah hari dalam setahun ditambah satu hari di tahun kabisat.
Hubungan Borobudur dengan Pawon dan Mendut, 2 candi pengiring di sekitarnya pun menghadirkan informasi mengagumkan. Ketiganya berjajar dalam satu garis lurus yang melambangkan rasi bintang orion atau waluku. Ini bukti masyarakat Nusantara abad 9 sudah mengenal ilmu perbintangan dan tata surya.
Kini, tahun yang dinanti tiba. Rindu tanda-tanda kebesaran alam melecut semangat peneliti-peneliti muda. Mata-mata raksasa dipersiapkan para ahli. Semuanya menyambut datangnya gerhana matahari total, 9 Maret 2016.
Lintasan totalitas saat posisi bulan terletak sejajar di antara bumi dan matahari itu lebih panjang dibanding gerhana matahari total yang terjadi pada tahun 1983 dan 1988.
Keindahan korona atau sinar yang mengelilingi matahari menjadi target utama para pemburu gerhana. Berbagai hipotesis pun muncul menjadi bibit-bibit teori baru.
Matahari sebagai pusat tata surya dan sumber energi sesungguhnya masih menyimpan beribu teka-teki. Ketika seluruh bidang matahari terhalang bulan itulah terdapat anomali pada gravitasi bumi.
Teka-teki lebih dari 50 tahun belum terjawab, yakni gerhana matahari total membuat gerak dan orientasi pendulum tak lagi konstan, 1 derajat per jam searah perputaran jarum jam.
Sementara memantau gerhana matahari tak sembarangan. Ketika 1 persen saja matahari tak tertutup bulan, maka akan membahayakan bagian retina mata.
Hal ini memerlukan kacamata khusus atau filter tersendiri bagi pengguna kamera. Namun, saat mengalami totalitas, matahari tertutup penuh oleh bulan, mata telanjang justru aman manatap langsung.
Kini akses informasi mengenai gerhana matahari total terbuka lebar. Informasi dan edukasi diberikan melalui media dan bahkan secara langsung.
Bagi para pemburu gerhana kesempatan langka itu tak mungkin disia-siakan. Keuntungan finansial dan hobi diraih berbarengan.
sumber ; liputan 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar